Thursday, May 29, 2014

Air Terjun Sialan!!



Kejadian terkutuk ini berawal dari congor si Hans. Si travelerkere yang juga purnawirawan gang dolly. Yang sehari sebelumnya mendadak sms saya begini, “Cong, yukz kita ke Air terjun”.

Mendengar kata Air terjun birahi saya seketika memuncak tak tertahan bak pengantin baru keracunan Viagra. Tanpa berpikir panjang saya pun meng-IYA-kan ajakan si Hans. Bodonya lagi, saya nggak tanya kemana?, Air terjun yang mana?, daerah mana?, de el el. Saking interest-nya saya abaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan langsung berangkat keesokan harinya. Berbekal informasi yang hanya Tuhan dan si Hans yang tau, saya pun berangkat menggunakan motor (butut) dari arah Kediri yang kurang lebih memakan waktu sekitar 2 jam (mandi-lulur, bedakan, kutekan, ngriting rambut, sudah termasuk didalamnya).

Pas lagi dijalan si Hans cerita kalau tempat yang bakal disatronin ini adalah Air terjun Parijotho (dibaca: Paricoto) yang terletak di area gunung wilis. Berdasarkan analisa Goblok saya, paricoto dalam bahasa jawa mengandung dua arti yaitu pari yang artinya padi, dan coto yang artinya rugi.  Kemudian saya hening sejenak. Dalam hati saya bertanya-tanya, “ini kegunung kok nggak bawa apa-apa, ntar kalau nyasar gimana?", "kalau haus gimana?", "trus nanti nginepnya dimana?", "kalau kangen mama-papa skype pakek sinyal apa?"
*kunyah knalpot*

Hans juga menjelaskan bahwa jarak antara tempat parkir sampai ke TKP Cuma 1 km. Kurang lebih 30 menit  dengan berjalan kaki. Okelah FINE!!. Nggak usah beli air, nggak usah bawa bekal. KITA PASTI BISA!! WE’LL SURVIVE!!. *petir menyambar-nyambar*

Setelah tiba dikampung terakhir menuju Air terjun kita tidak diperkenankan lagi membawa kendaraan dan diharuskan untuk berjalan kaki. Kemudian, saya melanjutkannya dengan berjalan kaki dengan hati yang riang gembira, berharap 30 menit berjalan kaki ini akan terbayar dengan indahnya pesona gunung wilis dan seganya Air terjun pegunungan. Kami pun berjalan terseok-seok karena memang keadaan pada waktu itu sedang musim hujan dan jalanan kepuncak gunung pun beycek plus nggak ada owjek. "Tapi saya harus bertahan! saya harus sampai ke Air terjun!!". Dengan nada optimis, saya pun melanjutkan perjalanan. Setelah 30 menit berjalan dan belum menemukan sosok Air terjun kami pun bertanya dengan penduduk setempat yang kebetulan berlalu-lalang.

“Pak, Bu, Air terjun Parijotho bener ini jalannya?”

“Iya mas, lurus aja!”

“OKE – FIXED!!”

Mendaki gunung melewati lembah, sungai mengalir indah bersamudra, bersama teman bertuaalaaannggg….. (keinget lagunya kartun Ninja Hatori).

1 jam jalan kaki dan MASIH belum nemu Air terjun. Kami pun mulai resah-gelisah. Meskipun  sudah memasuki area hutan dan yang tampak hanya pepohonan yang rimbun dan berselimut kabut tebal tapi kami masih bisa menemukan sesosok manusia yang lewat. Karena banyak warga lokal yang memanfaatkan lahan pegunungan wilis ini sebagai tempat bercocok tanam dan mencari rumput untuk hewan ternak. Dan kami pun bertanya kembali.

“Pak, Bu, Air terjun Parijotho bener ini jalannya, masih jauh?”

“Iya mas, lurus saja!, 1 km lagi”

“OKE – FIXED!!”

Satu jam menyusuri hutan dan kami mendapatkan jawaban yang sama. Saya mencoba tabah dan tetap optimis. Warga lokal selalu benar dan turis kadang salah. 

Pukul 11.30 dan kurang lebih sudah 1,5 jam kami berjalan. Kaki sudah mulai bete karena kecapekan. Tak banyak pula manusia yang lewat karena memang sudah memasuki area hutan. Dan ketika kami mendapati seseorang yang lewat kami pun bergegas bertanya kembali.

“Pak, Air terjun Parijotho masih berapa jauh?, bener ini kan jalannya?”

“Masih 1 km lagi, mas, teruuuuuss aja!”

SHIT!! KADAL EPILEPSI!!! Sudah hampir 2 jam dan masih dengan jawaban yang sama. “masih 1 km lagi”. *bedak mulai luntur*

Karena sudah terlanjur basah dan nyemplung hutan kami pun keukeuh nerusin perjalanan. “Terusin donk!!, Sayang kan udah sampai sejauh ini”. Kalimat PeDe saya menjawab pertanyaan si Hans. 

“OKE!”. Jawab Hans sambil nelen ingus gue

Pukul 12.00 dan 2 jam berjalan. Kami pun hampir patah arang melihat sekeliling yang hanya tersisa pohon pinus yang menjulang tinggi menambah nuansa horror. Suasana menjadi dingin dan kabut pun semakin tebal. KAMI MULAI LAPAAR….KAMI MULAI LAPAAARR!!!

“Huuuaaaaa.....hhuuuuaaaaa”, si Hans mulai menjerit kehausan.

MAKAN TUH GETAH POHON!!! Siapa suruh tadi nggak bawa apa-apa. Batin saya.

Belum sempat mencaci maki si Hans, dari jauh saya melihat seorang janda desa yang sedang membawa kayu bakar. Sekilas Nampak seperti Aura Kasih, semakin mendekat berubah mirip Yuni Sarah, dan semakin mendekat. “Yaaaaaahhhhhhh…, Mpok Nori”. 

Saya pun kembali bertanya sama jelmaah Mpok Nori. Mungkin Air terjun udah deket dan mungkin Mpok Nori juga dari sana. Mengaku sebagai arjuna, saya bertanya,

“Bu, numpang nanya, Air terjun Parijotho apa masih jauh?”

“Mas mau kesana?, teruss aja mas luruuss naik, masih 2 km lagi!” Jawab si Empok sambil ngebusungin dada.

BANCI TOMBOOOYYYY!! Sudah 3 jam berjalan dan katanya masih 2 km lagi. Trus tadi yang 1 km itu apa?, SELOKAN!!. HAAAHH!!. Saya mulai emosi dan hendak mengeluarkan Shot Gun dari ransel, bermaksud menembak si Janda desa. Tapi kemudian si Hans merampasnya dan berkata, “JANGAN FULGOSO”. Kemudian gue tembak si Hans. (Ya nggak lahh!!).

Dengan nada sok tegar kami pun bersikeras melanjutkan perjalanan dan masih berharap bisa sampai di Air Terjun Busuk itu. Tanpa ada manusia lagi yang kami temui, tak ada petani, tak ada om-om, tak ada janda desa lagi dan hanya tersisa kami sendirian di hutan yang lebat ini. Tapi kami tetap bertahan dan tetap melanjutkan perjalanan. Dengan tergopoh-gopoh, sampai merambat mirip suter ngesot.(tapi ini versi hardcore-nya). 

Dengan kondisi jalan yang semakin menanjak dan medan semakin berat kami seolah bagaikan dua manusia putus asa yang tak henti-hentinya berharap. Saya yang saat itu juga sudah sekarat menghentikan perjalanan dan leyeh-leyeh dijalanan dengan sudut kemiringan hampir 60 derajat. Tanpa bisa berkata apapun saya tergeletak tak berdaya. Kaki mulai kejang nggak karuan, perut mulai berteriak minta makan, napas pun juga ikut kembang-kempis. 

KROMPYAAAANGGG!, tiba-tiba si Hans jatuh luluh lantah ke tanah. Tapi saya nggak peduli. 

Disaat pemandangan hutan yang mulai gelap karna akan turun hujan kami tetap melanjutkan perjalanan. Tak perduli berapa jam sudah kami berjalan. Cahaya matahari mulai lenyap dan hanya tersisa kabut dan awan mendung yang menandakan akan segera turun hujan.

Kami terus berjalan dengan sisa tenaga yang ada selama beberapa detik. Sampai akhirnya saya dibuat shocked ketika mendapati sebuah jalan buntu dengan background alas belukar dan jurang yang menganga lebar. Sejenak kami hening untuk beberapa saat. dan tiba-tiba terdengar suara “krosaaak! Krosaakk!” dari arah semak-semak. Karena sudah nggak tau berpikir apa lagi, kami pun lari sekenceng-kencengnya untuk kembali turun gunung. Perasaan yang tadinya optimis berubah berkecamuk jadi nggak karuan. Impian bertemu bidadari mandi di Air Terjun pun seketika sirna dan hanya berpikir untuk lari, lari, dan lari. 

Tak henti-hentinya mulut saya bergumam mengeluarkan kalimat-kalimat kutukan atas kejadian ini. Siapa yang patut disalahkan atas kejadian ini?. Sambil terus berlari kalimat kutukan itu pun masih tak berhenti terucap dari mulut saya. (sengaja kalimat kutukan ini tidak saya tulis, karena sangat berpotensi mengandung unsur sara).

Dengan perjuangan antara hidup dan mati, kami terus berlari dan akhirnya sampai di kampung dengan keadaan porak-poranda. Sepatu yang penuh lumpur dan basah kehujanan. Diluar dugaan sesosok penduduk berkata, 

“Eh, mas yang tadi sudah turun, gimana mas air terjunnya? Bagus kan?”

Saya terdiam dan hanya bisa menjawabnya dalam hati. 

“MAKAN TUH AIR TERJUN”

“AIR TERJIN SIALAN!!”


 jalanan yang beycek dan nggak pernah ada owjek!!


Cuma ada pohon dan pohon. Air Terjunnya manaa???


Si Hans sedang luluh-lantah tak berdaya


5 comments:

  1. Ceritanya bagus. . .
    Suka... Semoga perjalanan selanjutnya lebih menantang ... Dan tak manfaat.... Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. TETEP AMIN...iya, AMIINN!!

      *cium hajar aswat*

      Delete