Kejadian
terkutuk ini berawal dari congor si Hans.
Si travelerkere yang juga purnawirawan gang dolly.
Yang sehari sebelumnya mendadak sms saya begini, “Cong, yukz kita ke Air terjun”.
Mendengar
kata Air terjun birahi saya seketika memuncak tak tertahan bak pengantin baru
keracunan Viagra. Tanpa berpikir panjang saya pun meng-IYA-kan ajakan si Hans. Bodonya
lagi, saya nggak tanya kemana?, Air terjun yang mana?, daerah mana?, de el el. Saking interest-nya
saya abaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan langsung berangkat keesokan
harinya. Berbekal informasi yang hanya Tuhan dan si Hans yang tau, saya pun berangkat
menggunakan motor (butut) dari arah Kediri yang kurang lebih memakan waktu
sekitar 2 jam (mandi-lulur, bedakan, kutekan, ngriting rambut, sudah termasuk
didalamnya).
Pas lagi
dijalan si Hans cerita kalau tempat yang bakal disatronin ini adalah Air terjun
Parijotho (dibaca: Paricoto) yang terletak di area gunung wilis. Berdasarkan
analisa Goblok saya, paricoto dalam
bahasa jawa mengandung dua arti yaitu pari yang artinya padi, dan coto yang
artinya rugi. Kemudian saya hening
sejenak. Dalam hati saya bertanya-tanya, “ini kegunung kok nggak bawa apa-apa,
ntar kalau nyasar gimana?", "kalau haus gimana?", "trus nanti nginepnya dimana?",
"kalau kangen mama-papa skype pakek
sinyal apa?"
*kunyah knalpot*
Hans juga
menjelaskan bahwa jarak antara tempat parkir sampai ke TKP Cuma 1 km. Kurang
lebih 30 menit dengan berjalan kaki.
Okelah FINE!!. Nggak usah beli air, nggak usah bawa bekal. KITA PASTI BISA!! WE’LL SURVIVE!!. *petir
menyambar-nyambar*
Setelah
tiba dikampung terakhir menuju Air terjun kita tidak diperkenankan lagi membawa
kendaraan dan diharuskan untuk berjalan kaki. Kemudian, saya melanjutkannya
dengan berjalan kaki dengan hati yang riang gembira, berharap 30 menit berjalan
kaki ini akan terbayar dengan indahnya pesona gunung wilis dan seganya Air
terjun pegunungan. Kami pun berjalan terseok-seok karena memang keadaan pada
waktu itu sedang musim hujan dan jalanan kepuncak gunung pun beycek plus nggak ada owjek. "Tapi saya harus bertahan! saya harus sampai ke Air terjun!!". Dengan nada optimis,
saya pun melanjutkan perjalanan. Setelah 30 menit berjalan dan belum menemukan
sosok Air terjun kami pun bertanya dengan penduduk setempat yang kebetulan berlalu-lalang.
“Pak, Bu, Air
terjun Parijotho bener ini jalannya?”
“Iya mas,
lurus aja!”
“OKE –
FIXED!!”
Mendaki
gunung melewati lembah, sungai mengalir indah bersamudra, bersama teman
bertuaalaaannggg….. (keinget lagunya kartun Ninja Hatori).
1 jam jalan
kaki dan MASIH belum nemu Air terjun. Kami pun mulai resah-gelisah. Meskipun sudah memasuki area hutan dan yang tampak
hanya pepohonan yang rimbun dan berselimut kabut tebal tapi kami masih bisa
menemukan sesosok manusia yang lewat. Karena banyak warga lokal yang
memanfaatkan lahan pegunungan wilis ini sebagai tempat bercocok tanam dan
mencari rumput untuk hewan ternak. Dan kami pun bertanya kembali.
“Pak, Bu, Air
terjun Parijotho bener ini jalannya, masih jauh?”
“Iya mas, lurus
saja!, 1 km lagi”
“OKE –
FIXED!!”
Satu jam
menyusuri hutan dan kami mendapatkan jawaban yang sama. Saya mencoba tabah dan
tetap optimis. Warga lokal selalu benar dan turis kadang salah.
Pukul 11.30
dan kurang lebih sudah 1,5 jam kami berjalan. Kaki sudah mulai bete karena kecapekan. Tak banyak pula manusia yang lewat
karena memang sudah memasuki area hutan. Dan ketika kami mendapati seseorang
yang lewat kami pun bergegas bertanya kembali.
“Pak, Air
terjun Parijotho masih berapa jauh?, bener ini kan jalannya?”
“Masih 1 km
lagi, mas, teruuuuuss aja!”
SHIT!!
KADAL EPILEPSI!!! Sudah hampir 2 jam dan
masih dengan jawaban yang sama. “masih 1 km lagi”. *bedak mulai luntur*
Karena
sudah terlanjur basah dan nyemplung hutan kami pun keukeuh nerusin perjalanan. “Terusin donk!!, Sayang kan udah sampai
sejauh ini”. Kalimat PeDe saya menjawab pertanyaan si Hans.
“OKE!”.
Jawab Hans sambil nelen ingus gue
Pukul 12.00
dan 2 jam berjalan. Kami pun hampir patah arang melihat sekeliling yang hanya
tersisa pohon pinus yang menjulang tinggi menambah nuansa horror. Suasana
menjadi dingin dan kabut pun semakin tebal. KAMI MULAI LAPAAR….KAMI MULAI
LAPAAARR!!!
“Huuuaaaaa.....hhuuuuaaaaa”,
si Hans mulai menjerit kehausan.
MAKAN TUH
GETAH POHON!!! Siapa suruh tadi nggak bawa apa-apa. Batin saya.
Belum
sempat mencaci maki si Hans, dari jauh saya melihat seorang janda desa yang
sedang membawa kayu bakar. Sekilas Nampak seperti Aura Kasih, semakin mendekat
berubah mirip Yuni Sarah, dan semakin mendekat. “Yaaaaaahhhhhhh…, Mpok Nori”.
Saya pun
kembali bertanya sama jelmaah Mpok Nori. Mungkin Air terjun udah deket dan
mungkin Mpok Nori juga dari sana. Mengaku sebagai arjuna, saya bertanya,
“Bu,
numpang nanya, Air terjun Parijotho apa masih jauh?”
“Mas mau
kesana?, teruss aja mas luruuss naik, masih 2 km lagi!” Jawab si Empok sambil
ngebusungin dada.
BANCI
TOMBOOOYYYY!! Sudah 3 jam berjalan dan katanya masih 2 km lagi. Trus tadi yang
1 km itu apa?, SELOKAN!!. HAAAHH!!. Saya mulai emosi dan hendak mengeluarkan Shot Gun dari ransel, bermaksud menembak
si Janda desa. Tapi kemudian si Hans merampasnya dan berkata, “JANGAN FULGOSO”.
Kemudian gue tembak si Hans. (Ya nggak lahh!!).
Dengan nada
sok tegar kami pun bersikeras melanjutkan perjalanan dan masih berharap bisa
sampai di Air Terjun Busuk itu. Tanpa ada manusia lagi yang kami temui, tak ada
petani, tak ada om-om, tak ada janda desa lagi dan hanya tersisa kami sendirian
di hutan yang lebat ini. Tapi kami tetap bertahan dan tetap melanjutkan
perjalanan. Dengan tergopoh-gopoh, sampai merambat mirip
suter ngesot.(tapi ini versi hardcore-nya).
Dengan
kondisi jalan yang semakin menanjak dan medan semakin berat kami seolah
bagaikan dua manusia putus asa yang tak henti-hentinya berharap. Saya yang saat
itu juga sudah sekarat menghentikan perjalanan dan leyeh-leyeh dijalanan dengan sudut kemiringan hampir 60 derajat. Tanpa
bisa berkata apapun saya tergeletak tak berdaya. Kaki mulai kejang nggak
karuan, perut mulai berteriak minta makan, napas pun juga ikut kembang-kempis.
KROMPYAAAANGGG!,
tiba-tiba si Hans jatuh luluh lantah ke tanah. Tapi saya nggak peduli.
Disaat
pemandangan hutan yang mulai gelap karna akan turun hujan kami tetap
melanjutkan perjalanan. Tak perduli berapa jam sudah kami berjalan. Cahaya
matahari mulai lenyap dan hanya tersisa kabut dan awan mendung yang menandakan
akan segera turun hujan.
Kami terus
berjalan dengan sisa tenaga yang ada selama beberapa detik. Sampai akhirnya
saya dibuat shocked ketika mendapati
sebuah jalan buntu dengan background
alas belukar dan jurang yang menganga lebar. Sejenak kami hening untuk beberapa
saat. dan tiba-tiba terdengar suara “krosaaak! Krosaakk!” dari arah
semak-semak. Karena sudah nggak tau berpikir apa lagi, kami pun lari
sekenceng-kencengnya untuk kembali turun gunung. Perasaan yang tadinya optimis
berubah berkecamuk jadi nggak karuan. Impian bertemu bidadari mandi di Air
Terjun pun seketika sirna dan hanya berpikir untuk lari, lari, dan lari.
Tak
henti-hentinya mulut saya bergumam mengeluarkan kalimat-kalimat kutukan atas
kejadian ini. Siapa yang patut disalahkan atas kejadian ini?. Sambil terus
berlari kalimat kutukan itu pun masih tak berhenti terucap dari mulut saya.
(sengaja kalimat kutukan ini tidak saya tulis, karena sangat berpotensi
mengandung unsur sara).
Dengan
perjuangan antara hidup dan mati, kami terus berlari dan akhirnya sampai di kampung
dengan keadaan porak-poranda. Sepatu yang penuh lumpur dan basah kehujanan.
Diluar dugaan sesosok penduduk berkata,
“Eh, mas
yang tadi sudah turun, gimana mas air terjunnya? Bagus kan?”
Saya
terdiam dan hanya bisa menjawabnya dalam hati.
“MAKAN TUH
AIR TERJUN”
“AIR TERJIN
SIALAN!!”
jalanan yang beycek dan nggak pernah ada owjek!!
Cuma ada pohon dan pohon. Air Terjunnya manaa???
Si Hans sedang luluh-lantah tak berdaya
Ceritanya bagus. . .
ReplyDeleteSuka... Semoga perjalanan selanjutnya lebih menantang ... Dan tak manfaat.... Aamiin...
TETEP AMIN...iya, AMIINN!!
Delete*cium hajar aswat*
lagek metu.....
ReplyDeleteAaaaaaaaakkkk.............
DeleteLagek moco ..
ReplyDelete